Temukan sepenggal harapan dengan syairku.

Minggu, 29 Januari 2012

Romansa Sebuah Sepeda


Sebuah pagi yang cukup cerah untuk mengawali aktifitas yang baik. Kicauan burung bersahutan di atas pepohonan.. Awan menari riang menyambut mentari yang akan menampakan wajahnya. Langit tersimpuh malu, pipinyapun memerah. Dan aku segera menggamit semangat baru penuh harapan.. Kulangkahkan kaki ini menuju ruang sarapan. Kudapati beberapa potong pisang crispy dan susu coklat hangat di atas meja makan.
Pagi itu kusisihkan waktu liburku dengan bersepedah ria. Aku mengikuti sebuah Fun Bike yang diadakan oleh Partai Golkar. Acara yang cukup banyak peminatnya dan bertaburan dengan door prize menarik. Malam sebelumnya aku telah membuat janji dengan teman baikku. Dia teman yang kutemui saat bimbingan belajar di sebuah tempat kursus sejak kelas 8 SMP. Kami berteman cukup baik.
Namanya Riqhy Ramadhan. Aku lebih akrab memanggilnya Iqhy. Usianya hanya terpaut satu minggu lebih muda dariku. Kami lahir pada bulan dan tahun yang sama. Dia mudah bergaul dan terbuka. Tidak sombong dan suka berbagi. Kebetulan dia lebih pandai dalam mata pelajaran matematika, dimana matematika adalah mata pelajaran yang kurang kukuasai, sehingga kami menjadi lebih dekat.
“Ada sms” terdengar dering sebuah nada doraemon dari saku celanaku. Nada doraemon adalah nada yang kusuka dari beberapa pilihan nada dalam pengaturan ponselku. Aku menggemari sebuah kartun kucing yang memiliki kantung ajaib itu sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dari kartun itu yang kusuka adalah aksi kocak yang menghibur dan tentunya ada pesan moral yang disampaikan. Hingga kini doraemon adalah tokoh kartu yang sangat kugemari.
Kubuka perlahan kode kunci ponsel dan kuperiksa inboxnya. Pesan yang sudah kunantikan sejak tadi. Pesan dari sahabatku Iqhy. Pesan itu berbunyi, “Fan, aku tunggu di depan garis start !”
Setelah kubaca lalu kumasukan kembali ponselku ke dalam saku celana. Kuraih tangan Bunda sambil mengunyah sepotong pisang crispy hangat buatannya.
Tak lupa Bunda berpesan, “Kakak, hati-hati ya !”. Setiap memberi pesan Bunda tak pernah absen untuk menyunggingkan senyum indah dari bibirnya.
Tak lama kemudian aku sudah menghilang dari pandangannya. Dengan melajukan sebuah sepeda pemberian kakek, aku melesat dengan kecepatan rata-rata seorang pembalap sepeda yang handal. Aku sangat gemar memacu sepedaku lebih kencang, karena ada kenikmatan tersendiri yang kudapat.
            Lokasi start lumayan dekat dari rumahku. Hanya berkisar dua meter saja. Seharusnya aku tak perlu khawatir untuk terlambat atau bahkan ketinggalan start, namun aku suka paranoid sendiri untuk masalah dengan waktu. Bagiku satu menit saja terlewat seperti melempar uang di kloset.
            “Ada sms” nada ponselku kembali terdengar, kali ini berbunyi di tengah keramaian. Beruntung pendengaranku cukup tajam. Iqhy kembali mengirim sebuah pesan singkat, kali ini  pesannya membuatku galau. Pikiranku lari jungkar jungkir kesana kemari memikirkan pesan itu saja.
“Fan, saya kebelet pipis. Saya pulang ya ? Kamu lama sih !” kira kira itulah bunyi pesan Iqhy.
Pesan itu pesan pertama yang pernah membuatku galau setengah mati, menyangkut hidup dan matiku. Tanpa dia, tidak ada yang akan menemaniku bersepeda. Dia pandai menghibur dan juga bisa kuandalkan untuk masalah body guard.. Aku terus membayangkan bagaimana jika aku bersepeda tanpanya.
Setelah beberapa menit waktuku terbuang hanya untuk galau maka, kuputuskan menelfonnya..
“Halo, Iqhy ? Kamu dimana ? Please, jangan pulang ya ? Kamu tega liat saya menderita ? Saya janji apa yang kamu mau saya kasi, tapi jangan pulang dulu ya ? Nanti kamu bisa pipis di toilet SPBU. SPBU gak jauh kok dari tempat startnya. Halo Iqhy ? Kamu denger saya kan ? Iqhy ? Oh Iqhy ?”
Iqhy tak berbicara sepatah katapun dalam perbincangan via ponsel itu.
Dan tiba-tiba telepon itu terputus dan harapanku pun pupus. Kupandangi ponselku dan berpanggu dagu di atas sepeda. Suara hiruk pikuk peserta Fun Bike pun tak terdengar jika aku sudah galau.
            Tiba-tiba terkejut aku saat kudapati pundaku ditepuk dari belakang.
“Sudah lama, Fan ?” suara Iqhy yang serak serak basah tersaring dalam daun telingaku.
“Iqhy ?” dengan perasaan senang, kaget bercampur kesal aku mencubiti lengannya.
“Maaf ya, Fan, saya becanda !”
“Keterlaluan tau, hampir mati kamu buat saya galau !”
“Yah, maaf kalo gitu ! Iseng doang kok, Fan !”
“Males ya sama kamu !”
Karena rasa kesalku belum juga sirna aku membuang muka dan sedikit cuek padanya.
            Aba aba untuk tanda dimulainya Fun Bike pun terdengar. Terpaksa kukayuh sepedaku dengan perlahan untuk menghindari kecelakaan dengan peserta lainnya yang menumpuk. Sepuluh menit berlalu, barulah jalanan merenggang. Setidaknya tidak seperti di awal. Di tengah perjalanan aku teringat akan Iqhy. Iqhy tak ada disekiratku. Kepanikan sedikit meluncur lagi dalam lautan pikiranku yang kadang kali mengelabuiku sendiri. Kubuka ponsel dan kucari kontaknya. Mana Iqhy ? Dimana dia ? Jangan bilang dia benar benar pulang ? Haaaaaa ! Di dalam hati aku bergerutu pada kejailan anak itu.
            Untuk meringankan rasa khawatir kuanggap saja dia lebih dulu di depan barisan sepedaku. Kuputuskan terus melaju dan tidak memikirkan keberadaan anak itu.
Semua peserta kuperhatikan memiliki pasangan dan kelompok masing masing. Hanya aku tanpa pasangan ataupun kelompok.
            Di sepanjang jalan mataku selalu siaga menangkap gelagat seorang Iqhy. Tiba-tiba mataku tertuju pada seseorang yang kuperkirakan berusia 16 tahun sedang mengayuh sepeda polygon kuning.
Dari segi postur tubuh, cara bercelana, potongan rambut dan lainnya kurasa sosok itu adalah Iqhy. Sahabatku yang paling jail. Karena rasa penasaran yang terlanjur ada, kukayuh lebih kencang sepeda kesayanganku ini. Ada dua orang yang sedikit mengganggu jalan di depanku. Kusalip mereka dan alhasil roda belakangku mengenai roda belakang dari salah satu sepeda orang yang kusalip. Aku pun tersungkur dan sepedaku terpental. Rasa sakit luar biasa terkalahkan oleh sebuah malu yang berkecampuk di dalam keramaian. Semua mata tertuju padaku, namun tak satupun yang membantu.
            Kuniatkan untuk berdiri dan berpura-pura tidak terjadi sesuatu. Namun sebelum itu kulakukan, ada sosok yang merangkulku ke tepi jalan beserta sepedaku.
“Kamu kenapa Fan ? kok bisa jatuh ? ada yang sakit ?”
“Iqhy ? kamu kok disini ?”
“Iya Fan, tadi saya habis pipis di SPBU. Maaf ya saya ndak bisa jaga kamu ?”
“Gak apa kok Qhy, saya gak sakit”
“Jangan bohong, celanamu robek masa iya gak lecet ?”
“Ini kan celana yang robek, liat nih gak ada yang berdarah kan ? saya gak kenapa napa kok qhy”
“Saya beli obat merah dulu ya ?”
“Jangan Qhy, saya gak kenapa napa kok, beneran !”
“Terus sekarang ? kita pulang ?”
“Jangan dong, kan kita mau dapet door prize entar, masa iya mau pulang ?”
“Tapi ?”
“Sudahlah, kita lanjutin aja !”
“Masih jauh loh ?”
“Deket kok, 2 kilo lagi, saya masih kuat”
“Yakin ?”
“Kamu ndak percaya sama saya ? saya kan hebat !”
“Baiklah, kamu dibelakang saya ajalah fan, biar bisa saya pantau !”
“Ok bos !”
            Dengan menahan rasa sakit pada lutut, kukayuh kembali sepedaku mengikiti Iqhy dari belakang. Disepanjang perjalanan tampaknya Iqhy lebih memperhatikanku. Tidak lebih dari lima menit ia menoleh ke arahku untuk memastikan keselamatanku. Tidak lupa juga ia menyunggingkan senyum penuh semangatnya seperti yang Bunda berikan padaku tadi pagi saat berpamitan.
            Jarak dua meter, suara mc sudah menyambut peserta yang akan menyelesaikan rute Fun Bike.
“Fan, kupon undianmu dimana ?”
“Di dalam tas Qhy, kenapa ?”
“Aku ambilkan ya ? di depan nanti ada petugas tempat kita menyerahkan kupon ini”
:”Terimakasih, ada di resreting ke dua”
            Tak berapa lama kemudia kami menyelesaikan rute dan memasuki lokasi finish. Lokasinya di Udayana.
“Kita mau parkir sepeda dimana Qhy ?”
“Di pojok sana, biar deket sama panggung !”
“Sipdeh !”
            Setelah selesai memarkir sepeda dengan tertib dan aman kami langsung merapat dengan panggung. Kursi tak ada yang tersisa, terpaksa harus berdiri. Kami berdiri hampir setengah jam, dan kaki mulai kesemutan.
“Qhy, kita duduk di bawah aja yuk ?”
“Di atas sana bagaimana ? Seperti lesehan, kita bisa memantau dari atas sana”
“Bagus juga, boleh boleh”
“Qhy, ada cokelat nih di tas, mau ?”
“Mau dong, makasih ya Fan”
“Makasih juga ya Qhy, mau nolong tadi pas jatuh”
“Ya ampun, harusnya saya jaga kamu bukan malah buat kamu jatuh”
“Salah saya kok, saya yang ceroboh”
“Hahahahaha, kapan nih nomer kita disebutin ?”
“Tenang Qhy, kita pergi naik sepeda gayung pulang bawa sepeda motor !”
“Amin”
            Tanpa disadari pengundian terakhir untuk hadiah utama satu buah sepeda motor sudah keluar. Dengan nomor undian 0002345. Ternyata orang yang beruntung itu seorang ibu yang langsung didampingi anak dan suaminya naik ke atas panggung.
“Yah, motornya diambil ibu itu, Fan !”
“Rezeki kita lain kali, Qhy”
“Segala sesuatu memang harus disyukuri ya Fan ?”
“Iya dong Qhy, semua sudah diatur sama Allah Swt”
“Iya, kayak sekarang kita berdua ini”
“Maksudnya ?”
“Fan, kamu mau gak jadi pacar saya ?”
“Haaaa ?”
“Jangan kaget, dari dulu saya sudah pingin bilang ini sama kamu Fan”
“Kamu sahabat saya Qhy”
“Tapi buat saya kamu lebih dari sahabat, Fan”
“Jadi ?”
“Saya suka sama kamu waktu jadi temen, saya saying sama kamu waktu jadi sahabat dan sekarang saya tambah sayang dan cinta sama kamu, Fan”
“Saya ndak bisa, Qhy. Maaf ya?”
“Saya tetep sayang kok sama kamu, Fan”
“Kamu gak nanya kenapa ?”
“Memangnya kenapa Fan ? buat apa minta maaf segala ?”
“Saya gak bisa nerima kamu, nerima kamu jadi sahabat lagi”
“Kamu marah sama saya. Fan ? Sekarang kamu ndak mau anggep kita sahabatan ?”
“Bukan”
“Terus apa kalo bukan marah ?”
“Saya ndak bisa nerima kamu cuma sebagai sahabat, saya mau nerima kamu sebagai pacar juga. Tadi saya minta maaf karena saya ndak bisa nolak”
“Kamu serius fan ?”
“Gak ?”
“Jadi becanda gitu ?”
“Bukan serius tapi seriburius”
“Ah kamu becanda aja sih”
“Tapi kamu suka kan ?”
“Iya sih, saya bakalan jagain kamu terus Fan”
“Terimakasih Riqhy Ramadhan”
“Kembali kasih Tifani Berlinda”
            Siang itu benar benar menjadi siang terindah dalam sepanjang sejarah. Akhirnya teman baik yang kukenal selama tiga tahun menjadi kekasihku.
Lecet pada lutut dan rasa malu terbalas sudah. Romansa sebuah sepeda menjadi saksi bisu kisah kasih yang takan lekang oleh masa.
Dari persahabatan yang tulus akan membuahkan hasil yang luar biasa. Bersahabatlah dengan semua orang, dengan semua situasi, dengan semua cobaan, dengan semua yang ada di sekitar, niscaya dunia ini akan selalu bersahabat denganmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar