Temukan sepenggal harapan dengan syairku.

Minggu, 29 Januari 2012

Romansa Sebuah Sepeda


Sebuah pagi yang cukup cerah untuk mengawali aktifitas yang baik. Kicauan burung bersahutan di atas pepohonan.. Awan menari riang menyambut mentari yang akan menampakan wajahnya. Langit tersimpuh malu, pipinyapun memerah. Dan aku segera menggamit semangat baru penuh harapan.. Kulangkahkan kaki ini menuju ruang sarapan. Kudapati beberapa potong pisang crispy dan susu coklat hangat di atas meja makan.
Pagi itu kusisihkan waktu liburku dengan bersepedah ria. Aku mengikuti sebuah Fun Bike yang diadakan oleh Partai Golkar. Acara yang cukup banyak peminatnya dan bertaburan dengan door prize menarik. Malam sebelumnya aku telah membuat janji dengan teman baikku. Dia teman yang kutemui saat bimbingan belajar di sebuah tempat kursus sejak kelas 8 SMP. Kami berteman cukup baik.
Namanya Riqhy Ramadhan. Aku lebih akrab memanggilnya Iqhy. Usianya hanya terpaut satu minggu lebih muda dariku. Kami lahir pada bulan dan tahun yang sama. Dia mudah bergaul dan terbuka. Tidak sombong dan suka berbagi. Kebetulan dia lebih pandai dalam mata pelajaran matematika, dimana matematika adalah mata pelajaran yang kurang kukuasai, sehingga kami menjadi lebih dekat.
“Ada sms” terdengar dering sebuah nada doraemon dari saku celanaku. Nada doraemon adalah nada yang kusuka dari beberapa pilihan nada dalam pengaturan ponselku. Aku menggemari sebuah kartun kucing yang memiliki kantung ajaib itu sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dari kartun itu yang kusuka adalah aksi kocak yang menghibur dan tentunya ada pesan moral yang disampaikan. Hingga kini doraemon adalah tokoh kartu yang sangat kugemari.
Kubuka perlahan kode kunci ponsel dan kuperiksa inboxnya. Pesan yang sudah kunantikan sejak tadi. Pesan dari sahabatku Iqhy. Pesan itu berbunyi, “Fan, aku tunggu di depan garis start !”
Setelah kubaca lalu kumasukan kembali ponselku ke dalam saku celana. Kuraih tangan Bunda sambil mengunyah sepotong pisang crispy hangat buatannya.
Tak lupa Bunda berpesan, “Kakak, hati-hati ya !”. Setiap memberi pesan Bunda tak pernah absen untuk menyunggingkan senyum indah dari bibirnya.
Tak lama kemudian aku sudah menghilang dari pandangannya. Dengan melajukan sebuah sepeda pemberian kakek, aku melesat dengan kecepatan rata-rata seorang pembalap sepeda yang handal. Aku sangat gemar memacu sepedaku lebih kencang, karena ada kenikmatan tersendiri yang kudapat.
            Lokasi start lumayan dekat dari rumahku. Hanya berkisar dua meter saja. Seharusnya aku tak perlu khawatir untuk terlambat atau bahkan ketinggalan start, namun aku suka paranoid sendiri untuk masalah dengan waktu. Bagiku satu menit saja terlewat seperti melempar uang di kloset.
            “Ada sms” nada ponselku kembali terdengar, kali ini berbunyi di tengah keramaian. Beruntung pendengaranku cukup tajam. Iqhy kembali mengirim sebuah pesan singkat, kali ini  pesannya membuatku galau. Pikiranku lari jungkar jungkir kesana kemari memikirkan pesan itu saja.
“Fan, saya kebelet pipis. Saya pulang ya ? Kamu lama sih !” kira kira itulah bunyi pesan Iqhy.
Pesan itu pesan pertama yang pernah membuatku galau setengah mati, menyangkut hidup dan matiku. Tanpa dia, tidak ada yang akan menemaniku bersepeda. Dia pandai menghibur dan juga bisa kuandalkan untuk masalah body guard.. Aku terus membayangkan bagaimana jika aku bersepeda tanpanya.
Setelah beberapa menit waktuku terbuang hanya untuk galau maka, kuputuskan menelfonnya..
“Halo, Iqhy ? Kamu dimana ? Please, jangan pulang ya ? Kamu tega liat saya menderita ? Saya janji apa yang kamu mau saya kasi, tapi jangan pulang dulu ya ? Nanti kamu bisa pipis di toilet SPBU. SPBU gak jauh kok dari tempat startnya. Halo Iqhy ? Kamu denger saya kan ? Iqhy ? Oh Iqhy ?”
Iqhy tak berbicara sepatah katapun dalam perbincangan via ponsel itu.
Dan tiba-tiba telepon itu terputus dan harapanku pun pupus. Kupandangi ponselku dan berpanggu dagu di atas sepeda. Suara hiruk pikuk peserta Fun Bike pun tak terdengar jika aku sudah galau.
            Tiba-tiba terkejut aku saat kudapati pundaku ditepuk dari belakang.
“Sudah lama, Fan ?” suara Iqhy yang serak serak basah tersaring dalam daun telingaku.
“Iqhy ?” dengan perasaan senang, kaget bercampur kesal aku mencubiti lengannya.
“Maaf ya, Fan, saya becanda !”
“Keterlaluan tau, hampir mati kamu buat saya galau !”
“Yah, maaf kalo gitu ! Iseng doang kok, Fan !”
“Males ya sama kamu !”
Karena rasa kesalku belum juga sirna aku membuang muka dan sedikit cuek padanya.
            Aba aba untuk tanda dimulainya Fun Bike pun terdengar. Terpaksa kukayuh sepedaku dengan perlahan untuk menghindari kecelakaan dengan peserta lainnya yang menumpuk. Sepuluh menit berlalu, barulah jalanan merenggang. Setidaknya tidak seperti di awal. Di tengah perjalanan aku teringat akan Iqhy. Iqhy tak ada disekiratku. Kepanikan sedikit meluncur lagi dalam lautan pikiranku yang kadang kali mengelabuiku sendiri. Kubuka ponsel dan kucari kontaknya. Mana Iqhy ? Dimana dia ? Jangan bilang dia benar benar pulang ? Haaaaaa ! Di dalam hati aku bergerutu pada kejailan anak itu.
            Untuk meringankan rasa khawatir kuanggap saja dia lebih dulu di depan barisan sepedaku. Kuputuskan terus melaju dan tidak memikirkan keberadaan anak itu.
Semua peserta kuperhatikan memiliki pasangan dan kelompok masing masing. Hanya aku tanpa pasangan ataupun kelompok.
            Di sepanjang jalan mataku selalu siaga menangkap gelagat seorang Iqhy. Tiba-tiba mataku tertuju pada seseorang yang kuperkirakan berusia 16 tahun sedang mengayuh sepeda polygon kuning.
Dari segi postur tubuh, cara bercelana, potongan rambut dan lainnya kurasa sosok itu adalah Iqhy. Sahabatku yang paling jail. Karena rasa penasaran yang terlanjur ada, kukayuh lebih kencang sepeda kesayanganku ini. Ada dua orang yang sedikit mengganggu jalan di depanku. Kusalip mereka dan alhasil roda belakangku mengenai roda belakang dari salah satu sepeda orang yang kusalip. Aku pun tersungkur dan sepedaku terpental. Rasa sakit luar biasa terkalahkan oleh sebuah malu yang berkecampuk di dalam keramaian. Semua mata tertuju padaku, namun tak satupun yang membantu.
            Kuniatkan untuk berdiri dan berpura-pura tidak terjadi sesuatu. Namun sebelum itu kulakukan, ada sosok yang merangkulku ke tepi jalan beserta sepedaku.
“Kamu kenapa Fan ? kok bisa jatuh ? ada yang sakit ?”
“Iqhy ? kamu kok disini ?”
“Iya Fan, tadi saya habis pipis di SPBU. Maaf ya saya ndak bisa jaga kamu ?”
“Gak apa kok Qhy, saya gak sakit”
“Jangan bohong, celanamu robek masa iya gak lecet ?”
“Ini kan celana yang robek, liat nih gak ada yang berdarah kan ? saya gak kenapa napa kok qhy”
“Saya beli obat merah dulu ya ?”
“Jangan Qhy, saya gak kenapa napa kok, beneran !”
“Terus sekarang ? kita pulang ?”
“Jangan dong, kan kita mau dapet door prize entar, masa iya mau pulang ?”
“Tapi ?”
“Sudahlah, kita lanjutin aja !”
“Masih jauh loh ?”
“Deket kok, 2 kilo lagi, saya masih kuat”
“Yakin ?”
“Kamu ndak percaya sama saya ? saya kan hebat !”
“Baiklah, kamu dibelakang saya ajalah fan, biar bisa saya pantau !”
“Ok bos !”
            Dengan menahan rasa sakit pada lutut, kukayuh kembali sepedaku mengikiti Iqhy dari belakang. Disepanjang perjalanan tampaknya Iqhy lebih memperhatikanku. Tidak lebih dari lima menit ia menoleh ke arahku untuk memastikan keselamatanku. Tidak lupa juga ia menyunggingkan senyum penuh semangatnya seperti yang Bunda berikan padaku tadi pagi saat berpamitan.
            Jarak dua meter, suara mc sudah menyambut peserta yang akan menyelesaikan rute Fun Bike.
“Fan, kupon undianmu dimana ?”
“Di dalam tas Qhy, kenapa ?”
“Aku ambilkan ya ? di depan nanti ada petugas tempat kita menyerahkan kupon ini”
:”Terimakasih, ada di resreting ke dua”
            Tak berapa lama kemudia kami menyelesaikan rute dan memasuki lokasi finish. Lokasinya di Udayana.
“Kita mau parkir sepeda dimana Qhy ?”
“Di pojok sana, biar deket sama panggung !”
“Sipdeh !”
            Setelah selesai memarkir sepeda dengan tertib dan aman kami langsung merapat dengan panggung. Kursi tak ada yang tersisa, terpaksa harus berdiri. Kami berdiri hampir setengah jam, dan kaki mulai kesemutan.
“Qhy, kita duduk di bawah aja yuk ?”
“Di atas sana bagaimana ? Seperti lesehan, kita bisa memantau dari atas sana”
“Bagus juga, boleh boleh”
“Qhy, ada cokelat nih di tas, mau ?”
“Mau dong, makasih ya Fan”
“Makasih juga ya Qhy, mau nolong tadi pas jatuh”
“Ya ampun, harusnya saya jaga kamu bukan malah buat kamu jatuh”
“Salah saya kok, saya yang ceroboh”
“Hahahahaha, kapan nih nomer kita disebutin ?”
“Tenang Qhy, kita pergi naik sepeda gayung pulang bawa sepeda motor !”
“Amin”
            Tanpa disadari pengundian terakhir untuk hadiah utama satu buah sepeda motor sudah keluar. Dengan nomor undian 0002345. Ternyata orang yang beruntung itu seorang ibu yang langsung didampingi anak dan suaminya naik ke atas panggung.
“Yah, motornya diambil ibu itu, Fan !”
“Rezeki kita lain kali, Qhy”
“Segala sesuatu memang harus disyukuri ya Fan ?”
“Iya dong Qhy, semua sudah diatur sama Allah Swt”
“Iya, kayak sekarang kita berdua ini”
“Maksudnya ?”
“Fan, kamu mau gak jadi pacar saya ?”
“Haaaa ?”
“Jangan kaget, dari dulu saya sudah pingin bilang ini sama kamu Fan”
“Kamu sahabat saya Qhy”
“Tapi buat saya kamu lebih dari sahabat, Fan”
“Jadi ?”
“Saya suka sama kamu waktu jadi temen, saya saying sama kamu waktu jadi sahabat dan sekarang saya tambah sayang dan cinta sama kamu, Fan”
“Saya ndak bisa, Qhy. Maaf ya?”
“Saya tetep sayang kok sama kamu, Fan”
“Kamu gak nanya kenapa ?”
“Memangnya kenapa Fan ? buat apa minta maaf segala ?”
“Saya gak bisa nerima kamu, nerima kamu jadi sahabat lagi”
“Kamu marah sama saya. Fan ? Sekarang kamu ndak mau anggep kita sahabatan ?”
“Bukan”
“Terus apa kalo bukan marah ?”
“Saya ndak bisa nerima kamu cuma sebagai sahabat, saya mau nerima kamu sebagai pacar juga. Tadi saya minta maaf karena saya ndak bisa nolak”
“Kamu serius fan ?”
“Gak ?”
“Jadi becanda gitu ?”
“Bukan serius tapi seriburius”
“Ah kamu becanda aja sih”
“Tapi kamu suka kan ?”
“Iya sih, saya bakalan jagain kamu terus Fan”
“Terimakasih Riqhy Ramadhan”
“Kembali kasih Tifani Berlinda”
            Siang itu benar benar menjadi siang terindah dalam sepanjang sejarah. Akhirnya teman baik yang kukenal selama tiga tahun menjadi kekasihku.
Lecet pada lutut dan rasa malu terbalas sudah. Romansa sebuah sepeda menjadi saksi bisu kisah kasih yang takan lekang oleh masa.
Dari persahabatan yang tulus akan membuahkan hasil yang luar biasa. Bersahabatlah dengan semua orang, dengan semua situasi, dengan semua cobaan, dengan semua yang ada di sekitar, niscaya dunia ini akan selalu bersahabat denganmu.

Sabtu, 14 Januari 2012

Cerpen Putu Wijaya

Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata – kata

(buat GM)

OLEH PUTU WIJAYA
Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.
“Mencari bunga untuk apa Pak?”
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.
“Bunga untuk ulang tahun?”
“Yang harganya sekitar berapa Pak?”
“Harga tak jadi soal.”
“Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat agar aku mengikuti.
“Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkaian bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.
“Itu saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak bunga yang aku lihat dengan sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
Cerpen Karya Putu Wijaya di Kompas, 17 Juli 2011
Cerpen Karya Putu Wijaya di Kompas, 17 Juli 2011
“Ya, itu yang saya cari.”
Dia mengangguk senang.
“Mau diantar atau dibawa sendiri?”
“Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia kelihatan bimbang.
“Berapa duit?”
“Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau, nanti saya bikinkan lagi.”
“Tidak, aku mau ini.”
“Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
“Tidak. Ini!”
“Tapi itu tidak dijual.”
“Kenapa?”
“Karena dibuat tidak untuk dijual.”
Aku ketawa.
“Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
“Dua.”
“Dua apa?”“Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga seharga dua juta. Dan bunga itu jadi makin indah. Aku mulai penasaran.
“Jadi, benar – benar tidak dijual?”
“Tidak.”
Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk bunga lagi yang lain.
“Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tidak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Ku keluarkan semua. Isinya 900 ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
“Bapak mau beli?”
“Ya, tapi aku hanya punya uang 900 ribu. Itu juga berarti aku harus berjalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga yang tak dijual di sini.”
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
“Ya, sudah bapak ambil saja. Bapak perlu berapa duit untuk pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
“Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
“Dua puluh ribu cukup.”
“Rumah bapak dimana?”
“Cirendeu.”
“Cirendeu kan jauh.”
“Memang, tapi dilewati angkot.”
“Bapak mau naik angkot bawa bunga yang saya rangkai?”
“Habis, naik apa lagi?”
“Tapi, angkot?”
“Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”
“Buka begitu.”
“O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”
“Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
(bersambunglumayan capek kepala meleng meleng mengetikan cerpen ini dari Harian Kompas tanggal 17 Juli 2011)
“Ya, hitung – hitung olah raga.”
Dia menatap tajam.
“Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 ribu untuk ongkos taksi.”
Aku tercengang.
“Kurang.”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik blue bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”
Dia tersenyum cantik sekali.
“Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”
“Tidak.”
Dia berpikir.
“Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”
“Yang dicintai mestinya.”
“Ya. Jelas.”
“Sebaiknya bapak tambahkan ucapannya.  Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
“Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
“Sebaiknya bapak saja yang menulis.”
“Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.
“Kamu saja yang menulis.”
“Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
“Pokoknya yang bagus. Yang positif.”
“Cinta, persahabatan dan sayang?”
“Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hafal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak. Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
“Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata – kata.”
Aku terharu. Pantas Nielson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.
“Bagus?”
Aku tiba – tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat – cepat kuhapus.
“Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”
“Ya?”
“Ya, tapi sebaiknya bapak tanda tangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
“Kamu saja yang tanda tangan.”
“Kenapa saya?”
“Kan kamu tadi yang menulis.”
“Tapi ini untuk Bapak.”
“Ya. Memang.”
Ia bingung.
“Kamu tidak mau menanda tangani apa yang kamu tulis?”
“Tapi, saya menulis ini untuk Bapak.”
“Makanya!”
Ia kembali bingung.
“Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
“Aku memang tidak pantas diberi ucapan selamat.”
“Jadi bunga ini untuk Bapak?”
“Ya”
“Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”
“Ya. Apa salahnya?”
“Bapak yang ulang tahun?”
“Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
“Kenapa?”
“Mestinya mereka yang mengirim bunga untuk Bapak.”
“Mereka siapa?”
“Ya, keluarga Bapak, teman – teman Bapak. Anak Bapak. istri Bapak, atau pacar Bapak …”
“Mereka terlalu sibuk.”
“Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
“Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.
“Terimakasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia kalau aku tidak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapatkan hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
“Ini uang Bapak,” katanya memasukan uang ke kantong bajuku, sambil meraih bunga dari tanganku, “Bapak simpan saja.”
“Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
“Tidak perlu dibeli. Ini hadiah bagiku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang nyengir di depan toko.
“Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak saat itulah hidupku berubah.

Cerpen Budi Darma

Kisah Pilot Bejo
Cerpen Budi Darma (dimuat di Kompas, 02/11/2007 )
Barang siapa ingin menyaksikan pilot berwajah kocak, tengoklah Pilot Bejo. Kulitnya licin, wajahnya seperti terbuat dari karet, dan apakah dia sedang gemetar ketakutan, sedih, atau gembira, selalu memancarkan suasana sejuk. Karena itu, kendati dia suka menyendiri, dia sering dicari.
Kalau dilihat dari ilmu pengetahuan, entah apa, mungkin pula sosiologi, dia masuk dalam kawasan panah naik. Hampir semua neneknya hidup dari mengangkut orang lain dari satu tempat ke tempat lain. Ada leluhurnya yang menjadi kusir, lalu keturunannya menjadi masinis, dan setelah darah nenek moyang mengalir kepada dia, dia menjadi pilot.
Karena pekerjaan mengangkut orang dapat memancing bahaya, maka, turun menurun mereka selalu diberi nama yang menyiratkan keselamatan. Dia sendiri diberi nama Bejo, yaitu “selalu beruntung,” ayahnya bernama Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung, terus ke atas, ada nama Sugeng, Waluyo, Wilujeng, dan entah apa lagi. Benar, mereka tidak pernah kena musibah.
Namun ingat, kendati pilot lebih terhormat daripada masinis, dan masinis lebih dihargai daripada kusir, masing-masing pekerjaan juga mempunyai kelas masing-masing. Ada kusir yang mengangkut orang-orang biasa, ada pula yang dipelihara oleh bangsawan dan khusus mengangkut bangsawan. Slamet, ayah Pilot Bejo, juga mengikuti panah naik: ayahnya, yaitu nenek Pilot Bejo, hanyalah seorang masinis kereta api jarak pendek, mengangkut orang-orang desa dari satu desa ke kota-kota kecil, sementara Waluyo, ayah Pilot Bejo, tidak lain adalah masinis kereta api ekspres jarak jauh.
Dibanding dengan ayahnya, kedudukan Pilot Bejo jauh lebih baik, meskipun Pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot sebuah maskapai penerbangan AA (Amburadul Airlines), yaitu perusahaan yang dalam banyak hal bekerja asal-asalan. Selama tiga tahun AA berdiri, tiga pesawat telah jatuh dan membunuh semua penumpangnya, dua pesawat telah meledak bannya pada waktu mendarat dan menimbulkan korban- korban luka, dan paling sedikit sudah lima kali pesawat terpaksa berputar-putar di atas untuk menghabiskan bensin sebelum berani mendarat, tidak lain karena rodanya menolak untuk keluar. Kalau masalah keterlambatan terbang, dan pembuatan jadwal terbang asal-asalan, ya, hampir setiap harilah.
Perjuangan Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah. Setelah lulus SMA dia menganggur, karena dalam zaman seperti ini, dalam mencari pekerjaan lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah. Untunglah ayahnya mau menolong, tentu saja dengan minta tolong seorang saudara jauh yang sama sekali tidak suka bekerja sebagai kusir, masinis, pilot, atau apa pun yang berhubungan dengan pengangkutan. Orang ini, Paman Bablas, lebih memilih menjadi pedagang, dan memang dia berhasil menjadi pedagang yang tidak tanggung- tanggung.
Ketika dengan malu-malu Bejo menemuinya, dengan lagak bijak Paman Bablas berkhotbah: “Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau sudah berhasil seperti aku, heh, dapat menjadi politikus, setiap saat bisa menyogok, dan mendirikan maskapai penerbangan sendiri, kalau perlu kelas bohong-bohongan.”
Mungkin karena wajah Bejo kocak, Paman Bablas tidak sampai hati untuk menolak. Maka, semua biaya pendidikan Bejo di Akademi Pilot ditanggung oleh Paman Bablas. Kendati otak Bejo sama sekali tidak cemerlang, akhirnya lulus, dan resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot.
Namun, resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot, tidak selamanya dapat menjadi pilot, bahkan ada juga yang akhirnya menjadi pelayan restoran. Mirip-miriplah dengan para lulusan Akademi Pimpinan Perusahaan. Mereka resmi berhak menjadi pimpinan perusahaan, tapi perusahaan siapakah yang mau mereka pimpin?
Andaikata dia minta tolong Paman Bablas lagi, kemungkinan besar dia akan diterima oleh maskapai besar. Namun dia tahu diri, apalagi dia percaya, darah nenek moyang serta namanya pasti akan terus melesatkan panah ke atas. Panah benar-benar melesat ke atas, ketika maskapai penerbangan SA (Sontholoyo Airlines) dibuka.
Setelah mengikuti ujian yang sangat mudah sekali, Bejo langsung diterima tanpa perlu latihan-latihan lagi, hanya diajak sebentar ke ruang simulasi, ke hanggar, melihat-lihat pesawat, semua bukan milik Sontholoyo Airlines, lalu diberi brosur. Ujian kesehatan memang dilakukan, oleh seorang dokter, Gemblung namanya, yang mungkin seperti dia sendiri, sudah bertahun-tahun menganggur. Dokter Gemblung bertanya apakah dia pernah operasi dan dia menjawab tidak pernah, meskipun sebenarnya dia pernah operasi usus buntu.
Pada hari pertama akan terbang, dia merasa bangga sekali. Dengan pakaian resmi sebagai pilot, dia menunggu jemputan dari kantor. Dia tahu, beberapa hari sebelum terbang dia pasti sudah diberi tahu jadwal penerbangannya, tapi hari itu dia tidak tahu akan terbang ke mana. Melalui berbagai peraturan dia juga tahu, paling lambat satu jam sebelum pesawat mulai terbang, pilot sudah harus tahu keadaan pesawat dengan jelas.
Demikianlah, sejak pagi sekali dia sudah menunggu di rumah, dan akhirnya, memang jemputan datang. Sopir ngebut lebih cepat daripada ambulans, menyalip sekian banyak kendaraan di sana dan di sini, karena, katanya, sangat tergesa-gesa. Dia baru tahu dari bos, bahwa hari itu sekonyong-konyong dia harus menjemput Pilot Bejo.
Begitu tiba di kantor Sontholoyo di bandara, Pilot Bejo dengan mendadak diberi tahu untuk terbang ke Makassar. Sebagai seorang pilot yang ingin bertanggung jawab, dia bertanya data-data terakhir mengenai pesawat. Dengan nada serampangan bos berkata: “Gitu saja kok ditanyakan. Kan sudah ada yang ngurus. Terbang ya terbang.”
Demikianlah, dengan tangan gemetar dan doa-doa pendek, Pilot Bejo mulai menerbangkan pesawatnya. Sebelum masuk pesawat dia sempat melihat sepintas semua ban pesawat sudah gundul, cat di badan pesawat sudah banyak mengelupas, dan setelah penumpang masuk, dia sempat pula mendengar seorang penumpang memaki-maki karena setiap kali bersandar, kursinya selalu rebah ke belakang.
Hari pertama disusul hari kedua, lalu disusul hari ketiga, dan demikianlah seterusnya sampai tahun ketiga tiba. Dia tidak berkeberatan lagi untuk dijemput terlambat lalu diajak ngebut ke bandara, merasa tidak perlu lagi bertanya mengenai data-data pesawat, merasa biasa mendengar penumpang memaki-maki, dan tenang-tenang saja dalam menghadapi segala macam cuaca. Darah nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia, apa pun yang terjadi.
Tapi, mengapa manusia menciptakan kata “tapi”? Tentu saja, karena “tapi” mungkin saja datang setiap saat. Dan “tapi” ini datang ketika Pilot Bejo dalam keadaan payah karena terlalu sering diperintah bos untuk terbang dengan jadwal yang sangat sering berubah-ubah dengan mendadak, gaji yang dijanjikan naik tapi tidak pernah naik-naik, mesin pesawat terasa agak terganggu, dan beberapa kali mendapat teguran keras karena beberapa kali melewati jalur yang lebih jauh untuk menghindari badai, dan entah karena apa lagi.
Demikianlah, dalam keadaan lelah, dengan mendadak dia mendapat perintah untuk terbang ke Nusa Tenggara Timur. Awan hitam benar-benar pekat. Hujan selama beberapa jam menolak untuk berhenti.
Pesawat beberapa kali berguncang-guncang keras, beberapa penumpang berteriak-teriak ketakutan. Semua awak pesawat sudah lama tahan banting, tapi kali ini perasaan mereka berbeda. Dengan suara agak bergetar seorang awak pesawat mengumumkan, bahwa pesawat dikemudikan oleh pilot bernama Bejo, dan nama ini adalah jaminan keselamatan.
“Percayalah, Pilot Bejo berwajah kocak, tetap tersenyum, tidak mungkin pesawat menukik.”
Pilot Bejo sendiri merasa penerbangan ini berbeda. Hatinya terketar-ketar, demikian pula tangannya. Meskipun wajahnya kocak, hampir saja dia terkencing-kencing.
Dia tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat. Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan tidak hormat, dengan kedudukan yang disahkan oleh Departemen Perhubungan, bunyinya, “tidak layak lagi untuk menjadi pilot selama hayat masih di kandung badan,” dengan alasan “membahayakan jiwa penumpang.”
Meskipun ketika masih belajar di Akademi Pilot dulu dia tidak pernah menunjukkan keistimewaan, dia tahu bahwa dalam keadaan ini dia harus melakukan akrobat. Kadang-kadang pesawat harus menukik dengan mendadak, kadang-kadang harus melesat ke atas dengan mendadak pula, dan harus gesit membelok ke sana kemari untuk menghindari halilintar. Tapi dia tahu, bos akan marah karena dia akan dituduh memboros-boroskan bensin. Dia juga tahu, dalam keadaan apa pun seburuk apa pun, dia tidak diperkenankan untuk melaporkan kepada tower di mana pun mengenai keadaan yang sebenarnya. Kalau ada pertanyaan dari tower mana pun, dia tahu, dia harus menjawab semuanya berjalan dengan amat baik.
Tapi, dalam keadaan telanjur terjebak semacam ini, pikirannya kabur, seolah tidak ingat apa-apa lagi, kecuali keadaan pesawat. Bisa saja dia mendadak melesat ke atas, menukik dengan kecepatan kilat ke bawah, lalu belok kanan belok kiri untuk menghindari kilat-kilat yang amat berbahaya, namun dia tahu, pesawat pasti akan rontok. Dia tahu umur pesawat sudah hampir dua puluh lima tahun dan sudah lama tidak diperiksa, beberapa suku cadangnya seharusnya sudah diganti, radarnya juga sudah beberapa kali melenceng.
Perasaannya sekonyong menjerit: “Awas!” Dengan kecepatan kilat pesawat melesat ke atas, dan halilintar jahanam berkelebat ganas di bawahnya. Lalu, dengan sangat mendadak pula pesawat menukik ke bawah, dan halilintar ganas berkelebat di atasnya.
Semua penumpang menjerit-jerit, demikian pula semua awak pesawat termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak menjerit, tapi berteriak-teriak keras: “Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!” Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan. ***

Cerpen Umar Kayam

SERIBU KUNANG-KUNANG DI MANHATTAN
Cerpen Umar Kayam

Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
“Marno, Sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”
“Ya, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja …..”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kausuka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kausuka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”
”Kaumerasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”
“Oh”.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”
‘Tentu, Jane.”
“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”
“Kautahu nomorku kan? Eldorado”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.

Kamis, 05 Januari 2012

Si Burung Merak

Orang-orang Miskin
WS Rendra

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim..

Djogja, 4 Februari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi